Desa Ngaglik, dari penuturan Sesepuh Desa dan para Moncokaki sebutan itu ada sejak masa Penjajahan Belanda jauh sebelum dilaksanakan pemetaan oleh Belanda pada tahun 1921.Wilayah Desa Ngaglik yang melintang dari utara Dukuh Jomblang di Dusun Bendo hingga selatan Dukuh Temulawak Dusun Dagangan.Pedukuhan Ngaglik yang tepat berada di tengah – tengah Wilayah Desa, karena itulah konon Ngaglik sebagai pilihan untuk sebutan Nama Desa Ngaglik.
Demangan Bendo, begitulah sebutan Rumah kediaman Demang Pontjo Panambang, yang pada saat itu selaku Kepala Pemerintahan di Desa Ngaglik, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda.Desa Ngaglik yang termasuk wilayah Geduwang, merupakan bagian dari Wilayah Kerajaan Mangku Negaran, tepatnya Desa Ngaglik, Kaonderan ( Onder Distric ) Bulukerto, Distric Purwantoro, Kabupaten Wonogiri.Sebuah Organisasi Pemerintahan Desa pertama yang dikenal masyarakat Desa Ngaglik.
Karena pada masa itu di Desa Ngaglik dilaksanakan Pemetaan Desa yang sekaligus dilaksanakan pembagian tanah sawah atau dikenal dengan istilah KOPYOKAN, dimana setiap warga Desa (Kepala Keluarga) yang telah berstatus Kuli Setengah Kenceng, diberi pembagian sawah.Dengan mendapat pembagian sebidang sawah tersebut statusnya berubah menjadi Kuli Kenceng, tentunya dengan konsekuensi kewajiban pajak dan kerja bhakti yang lebih, jika dibandingkan dengan warga desa yang berstatus setengah kenceng maupun yang magersari.Namun pada saat itu tidak sedikit dari Kuli Kenceng tersebut tidak mampu membayar pajaknya terhadap Pemerintah, oleh karena pengenaan pajak bumi pada masa penjajahan Belanda sungguh – sungguh sangat memberatkan, sehingga banyak Kuli Kenceng yang melepaskan hak sawahnya begitu saja, ataupun dijual dengan harga murah.
Pembagian wilayah bawahan pada masa itu adalah sebagai berikut :
- Kamituwan Bendo, yang terdiri dari :
- Dukuh Jumblang, termasuk Sepakel, Selorog, Sepelem dan Sepetung, Bokuning dan Kulon Pundong.
- Dukuh Bendo, termasuk Jurang Grawah, Karang Tengah, Segendeng, Randu Pogog, Sempor dan Semaling.
- Dukuh Pundong, termasuk Sewaton.
- Dukuh Pager, termasuk Etan Pager, Si Lo dan Sepule.
- Kamituwan Dagangan, yang terdiri dari :
- Dukuh Wates, termasuk Duwet.
- Dukuh Ngerjo, termasuk Sereco dan Seringin.
- Dukuh Punthukmiri.
- Dukuih Dagangan, termasuk, Seglodagkan.
- Dukuh Ngendak, termasuk Sekentheng.
- Dukuh Temulawak, termasuk Ngebakan.
- Pedukuhan Dukuh, termasuk Ngaglik, Sekarpethak, Dukuh, Ngledhok, Ploso dan Gangin, Etan Ploso dan Kulon Gangin.
- Kebayanan Soko, yang terdiri dari :
- Dukuh Setono, termasuk Semiri.
- Dukuh Semindi.
- Dukuh Soko.
- Dukuh Sengon, termasuk Etan Sengon.
- Dukuh Gondangrubuh, termasuk Kidul Gondangrubuh, Kalibiru dan Lambau.
- Dukuh Punthuk
Masa Penjajahan Belanda yang dilanjutkan dengan Penjajahan Jepang pada saat itu, membuat tata kehidupan kemasyarakatan tidak dapat berjalan dengan baik, begitupun juga dengan sosial ekonomi didera kemiskinan dan keterbelakangan.
Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Peralihan dari Pemerintahan Kolonial ke Pemerintahan Republik Indonesia, tentunya terjadi perubahan – perubahan. Tidak terkecuali di Desa Ngaglik, lambat laun Organisasi Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan ada perubahan, dan berangsur – angsur kehidupan sosial – ekonomi dan budaya masyarakat menjadi lebih baik.
Sepeninggal mBah Demang Pontjo Panambang, Bapak Hatmoredjono ( Carik Desa ), yang kemudian diangkat sebagai Kepala Desa Ngaglik pertama selaku Pemegang Tampuk Pemerintahan di Desa Ngaglik, dibantu oleh Pamong Desa. Perubahan ini dapat dirasakan dari berkurangnya beban pajak bumi ( tidak terlalu memberatkan ) dan banyaknya anak – anak usia sekolah yang menuntut ilmu di berbagai tingkat sekolah. Dengan demikian dapatlah dikatakan kesejahteraan masyarakat agak lebih baik jika dibandingkan pada masa penjajahan. Pada Tahun 1951, di Desa Ngaglik didirikan Sekolah Dasar yang berlokasi di Dukuh, Desa Ngaglik, yang sekarang dikenal sebagai SD Negeri I Ngaglik. Dari sisi Pemerintahan Desa, yang pada masa penjajahan dipimpin oleh seorang Demang dan Punggawa Desa, setelah Kemerdekaan dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan Pamong Desa.
Kekeringan pada tahun 1962 hingga tahun 1963, yang dikenal dengan sebutan jaman HO, menimbulkan kemiskinan dan gejolak ekonomi yang yang cukup dahsyat. Banyak dari warga masyarakat Desa Ngaglik yang kelaparan, karena tidak tersedianya makanan pokok, yang pada saat itu berupa gaplek atau thiwul ( singkong dikeringkan yang kemudian ditumbuk menjadi tepung dan selanjutnya dibuat nasi ), hingga tidak sedikit dari warga masyarakat yang terkena penyakit busung lapar, bahkan Hongerudim ( HO ). Belum pulih dari kesulitan ekonomi disusul gejolak politik yang luar biasa, yaitu Peristiwa G 30 S PKI, tidak terkecuali di Desa Ngaglik juga terjadi perubahan yang cukup dramatis. Hampir semua Pamong Desa Ngaglik diberhentikan dari jabatannya, yang dikarenakan yang bersangkutan dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia oleh Pemerintah pada waktu itu. Begitupun dibidang pendidikan, tidak sedikit dari guru yang juga diberhentikan, sehingga sistem belajar mengajar tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Bapak Dwidjo Sartono, diangkat sebagai Pejabat Kepala Desa, yang mengisi kevakuman Pemerintahan Desa Ngaglik, yang selanjutnya, mengadakan konsulidasi Pemerintahan Desa Ngaglik, dengan jalan pemulihan ketentraman masyarakat dan pengisian Pamong Desa.
Tahun 1967, di Desa Ngaglik dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa untuk yang pertama kalinya.
Pemilihan Kepala Desa tersebut diikuti 3 ( tiga ) orang calon yaitu :
- Bapak Dwidjo Sartono
- Bapak Wagiman Martosoegito
- Bapak Marto Sukiyo.
Bapak Wagiman Martosoegito yang memenangkan pemilihan Kepala Desa tersebut dan memangku jabatan Kepala Desa Ngaglik sampai dengan tahun 1989.
Pada masa Kepemimpinan Bapak Wagiman Martosoegito inilah banyak terjadi perubahan – perubahan, yang antara lain kehidupan sosial masyarakat menjadi lebih baik. Hal ini tercermin dari banyaknya anak sekolah di berbagai tingkatan dan di bidang pertanian juga terjadi peningkatan hasil produksi, yang tadinya sawah hanya satu kali panen setiap tahun, menjadi paling sedikit dua kali panen dalam setahun. Di bidang pendidikan pada tahun 1968 mendirikan SDN II Ngaglik di Dusun Dagangan, dan pada Tahun 1982 mendirikan SDN III Ngaglik serta Taman Kanak – kanak di Dusun Bendo. Tahun 1989, Bapak Martosoegito habis masa jabatannya karena telah berusia 60 tahun.
Pada tahun 1989 juga dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa yang kedua, dengan masa jabatan 8 tahun, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 tahun 1979.
Pemilihan Kepala Desa tersebut diikuti oleh 3 ( tiga ) orang calon, yaitu :
- Slamet Hatmowiyono.
- Supriyatno
Pada Pemilihan Kepala Desa ini dimenangkan oleh Bapak Slamet Hatmowiyono, dan melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa dan bersama BPD melaksanakan berbagai kegiatan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Pada Tahun 1997, secara Nasional terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga menjadi krisis multi dimensi. Di Desa Ngaglik sangat sangat terasa dampaknya yaitu kesulitan ekonomi secara umum dan akibatnya terjadi penurunan semangat swadaya dan gotong – royong masyarakat Desa Ngaglik dan pada gilirannya pelaksanaan pembangunan yang berbasis swadaya agak tersendat.
Tahun 1998 ditengah swasana krisis dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa yang ketiga, diikuti oleh 4 ( empat ) orang calon, yaitu :
- Slamet Hatmowiyono.
- Umar Suwarto
Untuk yang kedua kalinya Bapak Slamet Hatmowiyono, memenangkan Pemilihan Kepala Desa Ngaglik.
Pemerintahan, Pembangunan dan pelayanan masyarakat, dikendalikannya, untuk masa jabatan 8 ( delapan ) tahun yang kedua. Belum habis masa jabatannya yakni pada tahun 2003, Bapak Slamet Hatmowiyono berpulang ke Rahmatullah.
Hanya berselang beberapa bulan masih di Tahun 2003 tersebut di Desa Ngaglik dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa yang keempat, dengan pijakan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang diikuti oleh 2 (dua) orang calon yaitu :
- Tarno
- Kasmun
Pesta demokrasi ala Perdesaan tersebut dimenangkan oleh Bapak Tarno, untuk selanjutnya memegang jabatan dan melaksanakan tugas – tugas Pemerintahan, Pembangunan dan pelayanan masyarakat, sesuai ketentuan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan masa jabatan selama 10 ( sepuluh ) tahun, hanya untuk satu ( satu ) kali masa jabatan, hingga sekarang dan akan berakhir pada tahun 2013.
Di Desa Ngaglik ada semacam mitos yang sampai dengan sekarang masih dianggap bertuah, bagi masyarakat pada umumnya. Konon ceritanya Ki Ageng Si Lo, begitulah sebutannya seseorang yang berilmu tinggi dan cukup memiliki kesaktian. Beliau bertempat tinggal di Punthuk Si Lo ( sekarang lapangan sepak bola Desa Ngaglik ). Dalam mitosnya Ki Ageng Si Lo merencanakan menjodohkan putranya ( berbesanan ) dengan putri Ki Ageng Gudug, yang bertempat tinggal di Gudug, Desa Krandegan. Dengan ketentuan Ki Ageng Si Lo selaku orang tua Calon Mempelai Pria harus memberikan mahar berupa Lumbung Padi lengkap dengan isinya dan berjalan sendiri ( tanpa diantar oleh siapapun ). Namun karena sesuatu hal mungkin karena alasan ekonomi atau memang sengaja Ki Ageng Si Lo hanya memberikan sebuah Lumbung padi tetapi berisi jerami dan hanya bagian luarnya saja yang diberi padi. Sehubungan Ki Ageng Si Lo dianggap tidak memenuhi permintaan Ki Ageng Gudug, rencana perjodohan tersebut gagal dilaksanakan Ki Ageng Gudug tidak berkenan, sehingga menjadi permusuhan hebat hingga terjadi peperangan antara kubu Ki Ageng Gudug dan kubu Ki Ageng Si Lo. Hingga sekarang cerita misteri tersebut masih berkelanjutan, yang bersifat perjodohan, jual – beli ternak, jual beli barang tidak bergerak, benih tanaman dan sebagainya bagi masyarakat yang bermukim di area Punthuk Si Lo, termasuk Pager dan Sengon, di Desa Ngaglik dengan area Gudug, Desa Krandegan termasuk Payaman Kelurahan Bulukerto, untuk melanggarnya tidak berani. Kalaupun dengan tidak sengaja melakukan pelanggaran atas mitos tersebut, hampir bisa dipastikan akan terjadi sesuatu yang tidak baik bagi yang melanggarnya apalagi kalau disengaja.